Setiap awal pasti akan menemui sebuah akhir, seperti halnya pertemuan dan perpisahan. Hal itu adalah sebuah siklus yang sering terjadi di kehidupan kita. Ya, kita sebagai manusia tahu itu. Tak ada yang abadi di dunia ini. Semua fana. Apapun yang kita banggakan saat ini mungkin akan eksis untuk sementara waktu. Semua ada waktu dan masanya masing-masing.
Yang menjadi
persoalan, apakah kita siap dengan sebuah akhir? Bila akhir itu membahagiakan,
mungkin bukan jadi hal yang perlu kita persoalkan. Namun, bagaimana jika akhir
itu berkaitan erat dengan kesedihan atau kehancuran? Pasti kita akan sulit
melaluinya,
Kita tak pernah
tahu. Sebaik apapun rencana dan ekspektasi kita, semua akan kalah dengan yang namanya
realita. Pasti kita sering mengalami hal demikian. Cinta yang awalnya manis
perlahan berubah menjad pahit dan menyakitkan. Teman yang dulu kita percaya
perlahan menjauh dari kita pelan-pelan atau bahkan ada menusuk kita dari
belakang. Usaha yang dulu kita rintis, karena suatu alasan, usaha kita mendadak
rugi dan memaksa kita untuk mengakhirinya. Dan tentu saja masih banyak cerita
kehidupan tentang berakhir dengan kisah menyedihkan, seperti kasus-kasus
tersebut.
Saya
terinspirasi untuk menulis ini ketika patah hati dengan seseorang dan juga
sebuah lagu dari band rock kelas
dunia, yaitu Waiting for The End
karya Linkin Park. Dalam lagu itu terdapat sepenggal lirik lagu yang berbunyi
“the hardest part of ending is starting again”. Menurut saya, lirik tersebut
patut kita jadikan renungan, khususnya buat kita pernah mengalami kehilangan
dan kegagalan dalam hidup.
Saya
mendengarkan lagu itu ketika patah hati beberapa bulan yang lalu. Seperti patah
hati pada umumnya, saya merasa hancur
dan berantakan usai mengakhiri hubungan dengan seseorang. Rasanya sangat pahit
memang karena patah hati membuat kepercayaan diri saya perlahan hancur. Saya
merasa muak. Dan yang paling berat buat saya adalah saya merasa sulit untuk
memulai cerita lagi dengan seseorang yang baru karena saya telah kehilangan
sesuatu yang sangat penting, yaitu kepercayaan.
Jujur,
mengembalikan kepingan-kepingan hati yang tlah hancur tidaklah mudah. Semua
butuh waktu dan proses. Perjalanan menyembuhkan luka adalah perjalanan yang
sangat kompleks. Akhir yang menyedihkan itu seringkali menghantui dan membuat
kita terjebak pada sebuah kondisi yang membuat kita tidak ke mana-mana.
Ketika kita
memulai cerita dengan seseorang yang baru lagi, kita menjadi berpikir dua kali.
Rasa takut itu kembali muncul. Semua pikiran buruk terlintas di pikiran kita
bahwa segalanya pasti akan berujung pada akhir yang sama.
Namun, saya
percaya bahwa semuanya hanya perlu waktu karena waktu yang akan berbaik hati
menyembuhkan segalanya, seperti kata Tere Liye dalam novelnya Sunset Bersama
Rosie. Sepahit apapun sebuah akhir atau cinta yang gagal, semua akan terobati
jika sudah waktunya. Sosok Tegar dalam novel tersebut yang ditinggal menikah
oleh orang yang dicintainya sejak kecil, mengajari saya arti sebuah keteguhan
hati dalam melalui rasa sakit hati pasca perpisahan dan berdamai dengan rasa
sakit tersebut.
Jika kita
melihat dari sisi yang positif, sebuah akhir terkadang menjadi sebuah pertanda
bahwa kita bisa memulai dan mempelajari hal-hal baru, meskipun itu sangat sulit
di awal. Tidak semua akhir adalah benar-benar akhir, karena di balik itu pasti
tersimpan pelajaran yang bisa kita ambil. Kita bisa lebih kuat dan barangkali
dengan berakhirnya sebuah hubungan, kita akan memulai dengan hubungan baru
dengan orang yang tepat untuk kita.
Sebagai penutup, buat kita yang sedang berada dalam fase berantakan dan merasa gagal dalam melakukan sesuatu, jangan merasa ini sebuah akhir yang menyedihkan. Meskipun memulai kembali dari awal itu menyulitkan, kita hanya perlu bergerak dan bergerak sesuai kapasitas kita untuk melalui itu semua. Percayalah, kejaiban sedang menunggu kita di depan sana.
NB: Artikel ini pernah diterbitkan di Hipwee.