source: pixabay
Sore itu, aku ada satu janji dengan
Mei. Malamnya, dia mengontakku bahwa ada sesuatu yang salah dengan laptopnya.
Aku yang tak terlalu paham tentang masalah teknis, khususnya dalam hal
komputer, mencoba memberi saran ala kadarnya. Aku juga coba bertanya kepada
teman terdekatku yang kebetulan paham mengenai komputer.
Nihil, tak ada solusi yang cukup
membantu. Mei pun meminta bantuanku untuk mengantarnya ke toko service komputer
yang direkomendasikan oleh kakaknya. Tak perlu berpikir panjang, aku mengiyakan
permintaan Mei dan berencana menemani
Mei. Hitung-hitung, lumayan karena itu artinya aku bisa bertemu dengan Mei.
Esoknya sesuai janji, aku
menghampiri Mei di tempat kosnya yang dekat Superindo. Waktu itu, mungkin wajahku terlihat kusut dan basi karena baru bangun tidur ditambah aku masih suntuk
efek patah hati yang masih membekas di hati. Aku menanti tepat di depan rumah
sembari memainkan ponselku guna melepas bosan.
Tak lama kemudian, dia muncul dengan
kaos pink dan jaket hijau yang biasa kenakan. Ditambah, rambutnya yang selalu
berantakan. Entahlah, aku heran apakah dia itu jarang atau malah tidak suka
sisiran sehingga dia memilih membiarkan rambutnya terurai berantakan. Namun, aku
suka Mei seperti itu. Absurd dan unik.
“Mei, kamu nggak nanyain kabarku
dulu?”
“Maksudnya?”
“Ya, kan, aku baru patah hati. Masih
agak suntuk wkwkwk,”
Dia tak terlalu merespons dan malah
mengejekku singkat. Tapi tak apa, aku malah senang dengan sikapnya yang jutek
itu.
“Kita langsung berangkat apa gimana
ini?” tanyaku berhubung hari sudah beranjak sore.
“Iya, langsung berangkat aja, Mog,”
jawabnya singkat. Lalu, ia perlahan naik ke jok belakang motorku.
“Ready?”
aku kembali memastikan.
“Siap, sesuai aplikasi ya, Pak,”
ujarnya penuh riang gembira, seperti anak kecil yang asik naik sepeda. Awalnya
aku heran, dia bisa saja menganggapku seolah-olah bapak-bapak ojol. Bedanya,
kali ini gratisan wkwk.
Di jalan, kami ngobrol-ngobrol
singkat ala-ala customer dan ojol pada umumnya. Aku ingat, sore itu jalanan
sedang macet juga pengap. Namun, bagiku itu sangat asik karena aku bisa
membonceng Mei sambil bercerita banyak hal. Yang lucu juga, aku sempat
kebablasan dari tempat service
sehingga aku harus putar balik. Karena hal itulah, Mei sempet komplain dan
pura-pura marah gak jelas.
Sesampainya di tempat service, Mei
langsung mencari Pak Made, tukang service
yang direkomendasikan oleh kakaknya. Aku hanya menemaninya tanpa banyak bicara.
Salah satu dari orang sana meminta
kami untuk langsung menuju ke ruang khusus service. Kamu duduk di depan ruang
itu sambil menunggu tukang service. Anehnya, bukan Pak Made yang muncul, tetapi
bapak-bapak dengan perawakan gendut dan tampang yang humoris. Bapak gendut
tersebut lalu bertanya kepada Mei tentang masalah laptopnya. Mei memberitahu
bahwa laptopnya kadang suka mati sendiri saat dipakai. Aku menyimak sambil
memperhatikan Mei yang tengah fokus berbicara dengan bapak itu.
Baca juga: Tentang Pelangi Pada Sepasang Mata yang Cantik
Usai mendengar keluhan dari Mei,
bapak itu pun membawa laptop itu ke meja kerjanya. Mungkin sekitar sepuluh
hingga lima belas menitan, bapak itu kembali lagi menghampiri kami dengan
laptop yang telah menyala kembali.
Mei heran setengah mati. Bagaimana bisa? Aku tak terlalu paham. Tapi, aku jelas
menangkap ekspresi gurat wajah penuh penasaran
“Loh, kok laptop aku normal, Pak?”
Bukannya memberi penjelasan, bapak
itu hanya tersenyum singkat dan meninggalkan tanda tanya kepada kami berdua.
Beliau hanya menyuruh Mei mencoba laptopnya seperti pada kondisi normalnya guna
mengetes apakah masih ada problem di laptopnya.
“Mog, latopku kok bisa, ya? Bapak
itu kelihatannya nggak ngapa-ngapain tadi?” tanya Mei kepadaku sambil mengecek
laptopnya, mulai dari Ms. Word, Firefox, dan aplikasi lain yang biasa dia
gunakan.
“Maklum, bapaknya udah pro, Mei.” Jawabku
singkat sambil cekikikan juga.
Jujur, ekspresi Mei waktu itu agak
lucu. Aku tak bisa menahan tawa. Spontan, aksi absurd Mei kambuh lagi. Dia
tiba-tiba membuka draf kosong di Ms. Word lalu mengetikkan sesuatu di lembar
kosong tersebut. Dia mengetik namaku di situ, lalu ia mencoba membicarakan
bapak tsb melalui ketikan word. Gila sumpah wkwkwk, aku dan Mei pun akhirnya
berdialog melalui ketikan di Word. Dari luar, kami tampak diam dan tak berbicara
satu patah katapun, tetapi sesekali suara cekikikan terdengar dari kami berdua.
Dalam hati, jujur nih perempuan emang absurd dan mungkin perempuan seperti Mei
hanya ada satu banding satu juta di dunia ini.
Dialog absurd itupun kami sudahi
setelah kami berdua tak punya apapun lagi yang hendak ditulis. Di samping itu,
Pak Made yang tadi dicari Mei tiba-tiba menghampiri kami berdua. Beliau
kemudian berbasa-basi ringan dengan Mei. Aku menyimak perbincangan mereka
berdua dan sesekali mengangkat sesuatu ketika ditanya.
Perbincangan mereka cukup menarik.
Pak Made asli orang Bali dan beliau sudah lama merantau ke Malang. Pak Made
bercerita panjang lebar seputar makanan khas Bali yang aku lupa namanya. Namun,
yang jelas ada makanan yang terbuat dari daging babi yang katanya Mei itu enak.
Beliau juga merekomendasikan salah satu resto Bali yang terkenal di daerah
Malang. Resto tersebut menyediakan menu babi guling yang katanya sih laris
manis. Yah, aku cuman mendengarkan dan membayangkan walau gak bisa menikmatinya
karena babi itu haram dimakan dalam agamaku.
Berhubung hari sudah mulai beranjak
petang dan perbincangan dengan Pak Made juga sudah usai, kami berdua pun
pulang. Di jalan menuju tempat kosnya Mei, kami berdua terjebak macet. Namun,
itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan detik-detik berharga yang kulewati bersama
Mei.
Bagiku, sore itu adalah sore yang
menenangkan. Jika digambarkan lewat lagu, mungkin lagu Fana Merah Jambu dari
Fourtwnty cocok mewakili perasaanku, tetapi entahlah aku tak pernah tahu gimana
perasaan Mei waktu itu. Yang jelas, itu adalah momen sederhana yang menurut
berharga.
“Berdansa sore hariku,
sejiwa alam dan
duniamu, melebur sifat kakuku
Rasanya tak cukup
waktu, terlalu cepat berlalu
Soreku nyaman denganmu”
4.20
Tags
Opini