source: duniaku.idntimes.com
Hari
itu saya ada janji dengan Mei. Dia mengundang saya untuk datang ke sempro-nya (seminar
presentasi proposal skripsi). Saya sudah membawakan sesuatu yang memang ingin saya berikan kepada Mei sebagai
hadiah, yaitu komik Juki.
Awalnya,
saya bingung hendak memberikan apa ke dia. Saya malas memberikan cokelat atau
makanan yang sifatnya hanya sementara. Saya ingin benda itu selalu ada kapanpun
dan tak lekang oleh waktu. Mei bukan tipikal perempuan yang romantis, dia lebih
cenderung absurd dan gokil. Setelah berpikir keras, komik Juki yang bikin
ngakak saya rasa cocok untuk karakter dia yang konyol. Di satu sisi, saya juga
ingin dia ketawa terus.
Sayangnya,
hari ketika saya bertemu dengan Mei waktu itu adalah hari ketika saya patah hati
dengan seseorang. Harapan yang saya bangun dengan seseorang waktu itu kandas di
tengah jalan dan saya berantakan. Keinginan saya untuk bertemu Mei pun menjadi
berkurang. Saya hopeless dan muak
dengan diri saya waktu itu. Namun, saya telah berjanji dengan Mei dan saya
terlanjur membeli sesuatu untuk dia. Mau tidak mau saya harus datang.
Saya
datang bersama teman saya dari jurusan Sejarah yang juga akrab dengan Mei.
Anggap saja namanya Ayun. Dia ini orangnya juga konyol dan humoris sama seperti
Mei. Bersama dengan Ayun, saya pun menunggu Mei keluar dari ruangan tempat dia
sempro. Karena itu baru pertama kalinya kami datang ke fakultas Mei, saya dan
Ayun agak kikuk dan bingung.
“Yun,
caci maki aku coba,” ujar saya yang masih kacau. Dia sendiri bingung dan heran
ketika melihat saya ngomong gitu. Jujur, saya sedang stress dan dia bisa
melihat hal itu dari ekspresi wajah saya yang bikin dia ngakak.
Setelah
menunggu cukup lama, akhirnya Mei keluar. Mendadak, saya jadi canggung dan
bingung mau ngomong apa. Pasalnya, sudah sebulan berlalu sejak terakhir kalinya
saya ketemu dengan Mei. Dia terlihat tak banyak berubah. Paling, hanya wajahnya
yang agak lesu karena berpikir keras untuk sempro-nya.
“Selamat,
Mei,” ujar saya sembari menguarkan senyum palsu. Dia tersenyum dan menuju ke
arah kami berdua. Saya menyalaminya sambil memberikan komik yang sudah saya
bingkis rapi dengan kertas kado. Berbeda dengan saya, Ayun malah membawa
semangka untuk Mei. Saya sendiri sampai ngakak ketika melihat hal itu. Yang
paling gokil adalah Mei yang sengaja meminta Ayun untuk membawakan semangka.
Meski
belum sepenuhnya hilang, kesedihan saya waktu itu berkurang ketika melihat Mei.
Senyuman dan mata itu masih sama. Dia masih sama gokilnya. Seperti Mei yang
saya kenal dulu.
Pasca
kami berfoto-foto ria, kami bertiga duduk di sebuah bangku sembari ngobrol
ringan seputar skripsi dan tetek bengeknya. Spontan, Mei mengajak kami untuk
menonton film Joker yang masih hangat. Saya yang tadinya enggan pun mengiyakan
keinginan Mei. Lagipula, saya butuh melupakan segala penat dan kegelisahan hati
saya. Paling tidak, hal itu bisa menjadi obat yang mujarab nantinya.
***
“Mei,
aku baru patah hati lagi. Dia sama orang lain. Caci maki aku, Mei,” ucap saya
sama Mei ketika berjalan menuju ke bioskop bersamaan dengan Ayun. “Semangat,
Mog. Intinya, self talk yang positif.
Jangan membegokan dirimu sendiri,” jawab Mei. Ah, saya hanya tersenyum kecut.
Tetap saja, saya menganggap diri saya goblok karena gagal lagi dalam menjalin
sebuah hubungan.
Mei
dan Ayun terus mencoba menghibur saya dengan tingkah konyol mereka. Meskipun
tidak seratus persen ampuh, kesedihan saya waktu itu berkurang.
Usai
memesan tiket, kami duduk-duduk sejenak di bangku depan teater sembari menunggu
jadwal pemutaran film. Kami berbincang-bincang ringan sambil meng-ghibah
macam-macam.
Tak
lama, kami pun beranjak memasuki teater bioskop. Kami duduk di kursi belakang
sebelah pojok kanan.
“Mog,
jangan nangis lho,” sahut Ayun. “Iya, Mog. Awas, lho,” sahut Mei. Saya hanya
ketawa ngakak.
source: metro.co.uk
Sebelum
film Joker dimulai, trailer-trailer film baru ditayangkan terlebih dahulu.
Anjir-nya, di salah satu trailer terbaru terputarlah lagu Pupus karya Dewa 19
yang seketika membuat hati saya kembali sedih.
Ayun
refleks menatap saya yang hanya diam. Saya cuman bisa berkata anjir dan ngomong
gak jelas pasca mendengar lagu itu. Lagunya enak, tetapi momennya sungguh tidak
tepat. Mei pun malah ngakak gak jelas.
Yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Film Joker itupun dimulai dan saya mencoba
menikmatinya. Awal cerita, saya kurang terlalu menikmati dan agak bingung
dengan arah cerita. Namun, akting Joaquin Phoenix yang totalitas membuat saya
cukup terhibur.
Lambat
laun, akhirnya saya bisa menikmati alur cerita Joker. Namun, yang menjadi fokus
perhatian saya bukan hanya filmnya saja, tetapi saya kadang sering menatap Mei.
Saya suka menatapnya yang terlihat serius ketika menonton film, meski nuansanya
agak remang karena hanya cahaya dari layar film yang memenuhi ruangan.
Entahlah,
detik saya bersyukur karena bisa menikmati momen bersama Mei. Seperti sebuah
kebetulan, dia datang di saat yang tepat. Tanpa Mei, mungkin saya masih
terlarut dengan kesedihan saya.
Hari
sudah memasuki waktu Maghrib ketika film itu selesai. Saya sejenak mengajak Mei
berfoto berdua. Saya tidak tahu mengapa saya menginginkan hal itu. Saya selalu
takut kalau hari itu adalah hari terakhir saya bisa menikmati momen bersama Mei
karena kami berdua jarang bertemu. Saya ingin foto itu menjadi kenang-kenangan untuk
saya sendiri.
Namun,
dugaan saya nyatanya masih keliru. Ada satu lagi momen sederhana yang bermakna
bagi saya di sebuah sore. Akan saya ceritakan di lain kesempatan.
Malamnya, Mei mengucapkan terima kasih atas hadiah yang sudah saya berikan. Katanya, komik Juki itu menyindir dia sebagai anak kos dengan segala keluh kesahnya haha.
Sederhana saja, saya ingin kamu selalu tersenyum dan tertawa, Mei.
Malang, 23 Oktober 2019
Tags
Jejak