source: jalansirah.com
Halo
sobat semua. Jumpa lagi bersama saya MogiMogy
di sini. Pada kesempatan kali ini saya pengen sharing seputar kehidupan dan saya berharap semoga tulisan saya
kali ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan secercah inspirasi untuk kalian,
Sobat.
Sebagai
awalan, saya ingin menyampaikan sebuah quotes yang berbunyi “kita mungkin tahu dengan seseorang, tetapi
kita tidak benar-benar tahu perjalanan hidupnya”. Kata-kata ini saya pahami setelah bertemu
dengan dua orang perempuan tangguh yang bekerja sebagai padagang kecil di
pinggir jalanan. Mereka berdualah yang akan saya ceritakan pada artikel yang
saya tulis kali ini.
Perempuan
pertama adalah Ibu Sulami. Beliau sudah berumur sekitar 60-an ke atas – saya agak
lupa tepatnya. Kesehariannya adalah seorang penjual gorengan di pinggir jalan.
Saya mengenal beliau ketika saya kuliah di semester tiga. Ceritanya, saya dulu
sering jalan kaki dari kontrakan ke kampus dan saya sering membeli gorengan di
warung beliau ketika pulang dari kuliah.
Beliau
ini orangnya sangat ramah dan murah senyum. Pertama kali saya membeli gorengan
di warung beliau, saya merasa cukup terenyuh ketika beliau mengucapkan terima
kasih kepada saya. Barangkali, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang
penjual mengucapkan rasa terimakasih kepada pembeli karena telah membeli
dagangannya. Namun, ucapan Ibu Sulami itu terasa berbeda bagi saya. Saya
merasa, ucapan beliau itu sangat tulus. Bahkan, beliau sampai mendoakan saya
agar cita-cita saya dapat terkabul dan saya bisa sukses suatu saat nanti.
Jujur,
doa Ibu Sulami waktu itu membuat hati saya sangat tersentuh. Padahal, saya
hanya membeli gorengan yang nominalnya hanya tiga ribu rupiah, tetapi saya
mendapatkan bonus berupa doa yang juga saya amini. Alhasil, saya pun menjadi
langganan beliau. Setiap saya pulang kuliah dan apabila ada uang berlebih, saya
selalu membeli gorengan di warung beliau.
Setelah
semester empat selesai, saya akhirnya pindah kontrakan dan letaknya agak jauh
dari kampus sehingga saya harus naik motor jika ingin ke kampus. Meskipun
demikian, saya masih sering lewat warung beliau dan sesekali menyempatkan
mampir untuk membeli gorengan beliau – meskipun sudah tak sesering dulu.
Sampai suatu ketika, saya mendapatkan sebuah
project untuk tugas kuliah, yaitu mewawancarai seorang pedagang pinggiran. Just
info, saya saat ini kuliah di jurusan bahasa Jerman. So, tugas wawancara itu
pun nanti saya presentasikan menggunakan bahasa Jerman juga.
Awalnya
saya bingung hendak mewawancarai siapa. Saya sempat berpikir mungkin abang-abang
cilok yang suka nangkring di dekat kampus saya cocok jadi narasumber saya.
Tetapi, sepintas saya jadi teringat dengan Ibu Sulami. Tanpa banyak cing-cong, saya pun memutuskan untuk
mewawancarai beliau.
Seperti
biasa, modus saya waktu itu adalah membeli gorengan. Saya lalu minta ijin dan
mengungkapkan maksud saya untuk mewawancarai beliau. Awalnya beliau malu dan
agak bingung karena mungkin itu pertama kalinya beliau diwawancarai oleh
seseorang. Saya pun mengajak beliau untuk ngobrol-ngobrol santai seputar
keseharian beliau.
Terus
terang saja, saya tidak benar-benar tahu kisah hidup beliau. Namun, dalam
wawancara itu, beliau menuangkan segala hal yang ingin beliau sampaikan seputar
perjalanan hidupnya. Jadi, beliau ini sudah berjualan gorengan sejak puluhan
tahun yang lalu. Suaminya telah lama meninggal dan beliau membesarkan anaknya
dari kecil hingga dewasa seorang diri. Hanya dengan berjualan gorengan itulah,
beliau menafkahi anak-anaknya.
Meskipun
hasil dari jualan gorengan itu tidak seberapa, beliau selalu bersyukur kapada
Tuhan atas rejeki yang telah diperolehnya. Beliau juga tidak pernah menyangka
bahwa beliau dapat menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA. Sebenarnya, beliau
ada niat untuk menguliahkan anaknya, tetapi karena keadaan ekonomi yang memang
kurang memungkinkan, akhirnya anaknya memilih untuk bekerja.
Anak
Ibu Sulami bekerja menjadi tukang bersih-bersih di kampus saya selama beberapa
tahun. Namun, anak Ibu Sulami tidak mengeluh dan bekerja secara maksimal.
Hingga pada akhirnya, anak Ibu Sulami pun diangkat menjadi PNS dan menjadi
pegawai tetap di kampus saya. Ketika menceritakan perjuangan anaknya, air mata
Ibu Sulami pun menetes dan tidak dapat lagi dibendung. Saya pun jadi ikut
terharu mendengar cerita beliau.
Saya
tidak pernah menyangka bahwa wawancara tersebut bisa menjadi semelow itu. But,
saya sangat respek dengan perjuangan Ibu Sulami dalam melawan kerasnya
kehidupan. Yang saya salut lagi dari beliau adalah beliau selalu mengerjakan
sholat Dhuha sebelum berangkat ke warungnya. Beliau juga berpesan kepada saya
untuk selalu bersyukur, berikhtiar, dan selalu ingat kepada Tuhan.
****
Cerita
kedua yang ingin saya bagi adalah tentang seorang ibu-ibu penjual sate di
pinggir jalan. Saya bertemu ibu ini baru kemarin. Ceritanya, saya lagi pengen
makan sate kambing dan pas banget ketemu tempat jualan beliau – tempat jualan
itu berupa gerobak sederhana dan juga
tempat duduk. Berhubung saya belinya hampir tengah malem, sate kambingnya sudah
habis dan tinggalah sate ayam. Terpaksa saya membeli sate ayam karena saya
terlanjur ngomong pesen dan saya ini rada sungkan juga kalau sudah seperti itu,
tetapi di satu sisi saya juga agak lapar kemarin.
Tepat
di sebelah saya, juga ada abang-abang ojol yang juga pesen sate di ibu itu.
Pesenannya lumayan banyak juga. Awalnya saya kira itu pesanan pelanggan. Namun
pas saya tanya, itu ternyata pesanan abangnya sendiri.
Tak
lama kemudian, pesanan saya sudah dibuatkan oleh ibu penjual sate itu. Awalnya,
ibu itu mengambilkan nasi dalam porsi yang cukup banyak. Namun, saya meminta
agar porsinya dikurangi berhubung takut mubazir kalau nanti nggak habis.
Sambil menyantap sate ayam, saya ngobrol ringan dengan
ibu itu.
“Buk, kok belum tutup jam segini?”
“Iya, Mas. Nanti malam jam dua belas baru tutup,”
“Ngomong-ngomong, asli sini ya, Buk?”
“Enggak,
Mas. Saya asli Madura,” jawab Ibu itu dengan logatnya yang emang khas orang
Madura.
Lambat
laun, pembicaraan sudah agak melebar kemana-mana. Ibu itu pun spontan bercerita
tentang kisah hidupnya. Ia juga menunjuk ke arah anaknya yang tengah tertidur
pulas. Setiap hari, anaknya yang masih baru kelas 6 SD menemaninya berjualan.
Satu lagi cerita yang paling mengejutkan adalah suami dari ibu itu baru
meninggal empat bulan yang lalu karena kecelakaan. Spontan, saya sendiri merasa
tidak enak dan turut berduka cita.
Namun,
kisah pahit ibu penjual sate itu dimulai setelah suaminya meninggal. Berbagai
cobaan datang menghampiri kehidupan beliau. Kata beliau, banyak orang yang
berhutang kepada suaminya, tetapi orang-orang itu tidak tahu dimana rimbanya. Adalagi
orang yang ngaku-ngaku memberikan pinjaman kepada suaminya dan kini dia datang
menagih hutang kepada ibu itu. Beliau tidak tahu menahu mengenai hal itu dan
bisa jadi memang orang itu hanya menipu. Memang, pada akhirnya, orang yang
berniat menipu itu malah ketiban sial. Istrinya masuk rumah sakit dan dia
kehilangan motornya.
Selain
itu, permasalahan ibu penjual sate itu juga datang dari sisi yang lain. Beliau
juga sampai menangis ketika menceritakan perjalanan hidupnya. Apalagi,
saudara-saudara dari suaminya juga sudah tidak peduli terhadap keluarga ibu
itu. Padahal, anak ibu itu masih kecil dan butuh support dari orang-orang terdekat. Kata beliau lagi, ketika anaknya
menelpon saudara suaminya, mereka malah mengabaikannya.
Jujur,
saya sangat bersimpati terhadap ibu itu. Saya sendiri juga heran mengapa ibu
itu sampai bercerita seperti itu, padahal saya sebelumnya tidak pernah mengenal
beliau. Akan tetapi, saya menyadari satu hal bahwa beliau sepertinya memang
butuh teman untuk bercerita dan menuangkan emosi yang terbendung di dalam
hatinya. Dan kebetulan ada saya di situ.
Setelah
beberapa lama bercerita, akhirnya saya pun pamit dan membayar sate yang saya
pesan tadi. Saya juga mendoakan semoga usaha sate ibu itu terus diberi
kelancaran dan juga semoga Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk keluarga
beliau.
Cerita
dari ibu itu berhasil membuat saya merenung cukup dalam. Saya merasa bahwa
beban hidup yang saya tanggung tidak seberat beban hidup beliau. Saya merasa
masih sangat beruntung karena memiliki keluarga yang harmonis dan hidup yang
berkecukupan. Saya juga masih bau kencur dan belum mengalami pahit getirnya
kehidupan. Yang jelas, ada pelajaran yang bisa saya petik dari ibu itu, yaitu
pelajaran tentang kesabaran.
****
Mungkin,
kedua cerita itu yang bisa saya share
pada artikel kali ini. Satu hal lagi yang ingin saya sampaikan adalah Tuhan
punya banyak cara untuk mengingatkan kita, salah satunya adalah lewat kisah
orang-orang yang telah bergelut melawan pahit getirnya kehidupan, seperti dua
sosok hebat yang saya ceritakan di atas. Tinggal kita mau belajar dan memetik
hikmahnya atau tidak.
Semoga
apa yang saya tulis ini bisa bermanfaat dan mampu menginspirasi sobat sekalian.
Sekian dari saya. Thanks.