source: kurtbrundage.com
“A lonely road crossed another cold state line,
miles aways from those I love
purpose to find.”
Ah, aku tidak
tahu bagaimana harus memulai tulisanku kali ini. Barangkali, aku ingin
menanyakan kabarmu terlebih dahulu. Aku yakin, kau saat ini baik-baik saja di
sana. Tanpaku, kenanganmu di masa lalu.
Aku sejujurnya
ragu apakah kau masih kerap mengingatku. Atau mungkin kau sudah melupakanku dan
tenggelam dalam rutinitasmu. Yang jelas, aku percaya kini kau sudah bahagia. Dengan
kehidupanmu.
Akhir-akhir ini,
aku tiba-tiba merindukanmu. Rindu akan senyumanmu. Rindu kedua matamu. Dan
rindu ingin bertemu denganmu. Namun, rindu hanyalah sebatas rindu karena tidak
mungkin aku menemuimu.
Kenangan
bersamamu masih ada di ingatanku, meskipun samar. Aku yang dulu pernah merajut
janji bersamamu. Pernah menjadi yang kau banggakan. Pernah berbincang tentang
hidup bersamamu kelak. Kita yang masih polos dan terlalu jauh berangan-angan.
Sampai akhirnya, kita sampai pada sebuah akhir yang berujung perpisahan.
Kau menganggapku
bajingan yang egois. Segala sumpah serapah dan caci maki kau katakan padaku.
Rasa yang pernah terukir pun menjelma menjadi sebuah kebencian tak berujung.
Ya, kita sempurna berpisah. Membawa dendam di hati kita masing-masing. Memantik
bara yang sebelumnya tak pernah ada. Yang kian lama kian membakar diri kita.
Kau dengan dia.
Dan aku dengan yang lain.
Namun, sebesar
apapun kebencian yang bersarang di dalam benak kita, pada akhirnya kebencian
itu pun luruh. Perlahan, kita mampu berdamai dengan diri kita masing-masing.
Kau akhirnya memaafkanku. Memaafkan segala kesalahan dan keegoisanku.
Jujur, aku ingin
kembali denganmu waktu itu. Mengulang dan memperbaiki segala yang pernah
kurusak. Namun, kau ragu dengan dirimu sendiri. Aku tahu, kau tidak semudah itu
menerimaku kembali, meskipun kau sudah memaafkanku.
Aku sendiri
sadar, terlalu banyak kekecewaan yang pernah kutinggalkan di hatimu. Sampai
detik ini pun, aku masih merasa diriku bajingan. Bajingan yang tega melukaimu.
Ibarat cermin yang sudah retak, tak mungkin bisa kembali seperti sediakala.
Tetapi, kau perlahan
membuatku sadar dan mengerti bahwa aku tidak bisa selamanya seperti ini. Kau memberikan
sebuah makna baru dalam hidupku. Ada sepenggal pelajaran yang dapat kupetik
setelah mengenalmu.
Ada sesal yang
kau tinggalkan dalam hidupku. Dan setiap kali sesal menyeruak, dadaku sesak. Menyisakan
kosong di relung. Memunculkan kerinduan dan tanda tanya besar. Mengapa aku begitu bodoh meninggalkanmu
waktu itu?
Aku sadar satu
hal. Aku tak pernah benar-benar menghapus bayanganmu. Aku hanya lari dari
kenyataan. Membohongi diriku sendiri. Mencoba melupakanmu meskipun nyatanya aku
tak mampu. Kau masih lekat di ingatan. Menyatu dalam langkah dan kekal dalam
kenangan.
Aku selalu
mendengarkan lagu-lagu kenangan ketika masih bersamamu. Hanya itu yang bisa
kulakukan setiap kali kerinduan itu muncul. Lagu ‘Dear God’ karya Avenged
Sevenfold inilah yang mampu meredakan segala kegelisahanku ketika mengenangmu.
Bagiku, lagu ini
tidak hanya sekadar lagu. Ada doa yang terselip di dalamnya. Tentang rindu,
penyesalan, dan juga harapan. Aku yang kini jauh darimu, hanya bisa berdoa kepada
Tuhan agar engkau selalu bahagia dengan hidupmu. Cukup aku saja yang pernah
menyakitimu. Cukup aku saja yang pernah melukaimu. Kau berhak bahagia dan
mendapatkan lelaki yang pantas untuk menjagamu.
Andai aku mampu,
barangkali aku akan berusaha sekali lagi untuk membahagiakanmu. Namun, aku
hanyalah sekadar masa lalu, yang hancur tergerus waktu dan perlahan hilang dari
ingatanmu.
“Dear God,
The only thing I ask of You
Is to hold her when I’m not around
When Im much to far away.”
Malang, 12/04/2019