Sejujurnya,
aku tak pernah seperagu ini. Segalanya berubah ketika kau datang dan meluluhkan
kebekuan yang ada di dalam hati. Kau hadir tanpa pratanda dan pergi melenggang
bersama waktu yang singkat. Namun, ada bekas yang kau tinggalkan dari tatap dan
lengkung yang memikat.
Masih
ingat dalam lamunan, senyumanmu yang dulu pernah kau layangkan untukku.
Membuatku membisu dan terpaku dalam beku. Kau hadirkan getaran-getaran tak
seirama yang mengacaukan semestaku. Menjadikanku berantakan untuk sementara
waktu.
Aku
ragu jika akan menaruh hati kepadamu. Bagiku, kau akan menjadi angin lalu.
Tetapi aku salah, ada rindu yang tersisa di relung. Membuatku disiksa perasaan
yang tak tentu serta khayalan-khayalan semuku. Aku mengalami delusi. Membayangkan
harapan-harapan ambigu nan rancu.
Kau
berhasil memaksaku kembali ke diriku beberapa saat yang lalu. Aku yang pernah gila
memikirkan seseorang. Aku yang kerap ditikam rindu tanpa temu. Dan aku yang
sering memendam rasa dalam asa. Kau pun sempurna mengobrak-abrikku.
Kau
kerap hadir di kepalaku sebagai inspirasi. Lalu, memaksaku menulis puisi ketika
sepi dan seketika menjelma bak belati tajam yang menyayat hati. Memang
terkadang perih, tetapi sebisa mungkin kunikmati. Barangkali, aku akan menemukan
sebuah makna baru dalam perih tersebut. Meskipun itu artinya aku harus tertatih
mengagumi perempuan yang barangkali tak bisa kuraih.
Namun
di satu sisi, kau memberiku sedikit kekuatan. Kau seolah menyadarkanku kembali
siapa aku. Kau memacu semangatku kembali. Semangat untuk menabrak batas yang
selama ini mengurungku. Aku yang selama ini mungkin jalan di tempat, terpacu
kembali untuk membuktikan sesuatu. Perlu kau tahu, kau ialah inspirasi
terbesarku saat ini. Khususnya dalam tulisan-tulisanku.
Aku
tahu, mungkin aku tak berarti apa-apa di matamu. Bagiku, kau adalah serangkaian
makna yang tak mudah kuhapus. Kau adalah perempuan yang jarang kutemui. Ada
sesuatu yang aku lihat di dirimu. Entahlah, aku pun masih abstrak dan tak mampu
menggambarkannya secara nyata.
Baca juga: Secangkir Kopi, Diskusi, dan Puisi Chairil Anwar
Kudengar
pula, ada lelaki lain yang mungkin sudah bertahta di hatimu. Lelaki yang
barangkali selalu kau sebut dalam doamu. Dan itu bukan aku. Tak apa, aku
menganggap hal itu sederhana. Mencintaimu tidak memerlukan pamrih. Tak masalah
jika kau tak menyimpan rasa apa-apa padaku. Selama kau bahagia, aku ikhlas
menerimanya.
Kau
juga perlu tahu. Aku tengah bimbang ketika menulis ini. Rasanya ingin kubunuh
perasaanku. Jika tidak, mungkin aku yang membusuk karena memendam rasa yang
bagiku sangat abstrak dan kemungkinan besar tak terbalaskan. Aku tak mau
mengambil resiko yang lebih riskan. Karena jika sewaktu-waktu aku hancur, akan sangat
sulit menyatukan kepingan yang hancur tersebut. Namun sisi lainku bilang, bahwa
aku enggan melepasmu karena kau terlalu berharga untuk dilewatkan. Entahlah,
aku ragu dengan diriku sendiri.
Ketika
mengingat senyumanmu, aku jadi teringat senja yang kulihat beberapa saat yang
lalu. Senja yang fana, yang sekelebat hadir dengan parasnya yang menawan
menghiasi langit, namun begitu cepat pergi dijemput oleh sang malam.
Kau
dan senja ialah sama-sama fana. Kau hadir, tetapi kau pun cepat berlalu. Kau
bermakna, tetapi suatu ketika makna itu boleh jadi akan sia-sia. Aku menyimpan
rasa, namun esok rasa itu mungkin tak akan lagi ada.
Dan
dari senja, aku akan belajar melepasmu dengan keikhlasan. Karena aku percaya,
semua sudah direncanakan dan barangkali memang kita bertemu pada waktu yang
salah. Tak ada yang perlu disesalkan, malah semua harus disyukuri. Aku senang,
pernah mencintaimu meskipun singkat.
Untuk si pemilik lengkung manis yang pernah hadir
sebagai kisah sementara
Malang, 12/02/2019