source: flickr.com
Dia
sudah menungguku beberapa menit. Sial, aku datang terlambat kali ini. Aku
kesasar karena baru pertama kali datang ke kafe tempat perjanjian kami. Rasanya
aku ingin mengutuk diriku sendiri karena bagiku ini adalah pertemuan penting.
Ini
adalah pertemuanku kembali dengannya setelah setahun tak berjumpa dan tanpa
kabar. Dia yang kupikir telah kukubur rapat-rapat bersama dengan kenangan. Yang
kemudian menjelma menjadi cahaya
kunang-kunang di kegelapan malam lalu menghilang tertelan pancaran pagi.
Dia
telah menungguku. Aku pun bergegas memesan secangkir kopi sesaat setelah aku
sampai di kafe itu. Lalu, aku pun segera menuju ke arahnya yang telah duduk
manis memegang gawai sembari berbincang dengan salah satu rekannya.
“Hai,”
sapaku grogi semi pangling ketika menatap wajah yang sempat terlupakan itu. Dia
kaku dan terdiam menatapku. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama.
Perasaan yang bercampur aduk tak menentu.
Aku
gugup sekali ketika duduk di dekatnya. Mata itu adalah mata yang pernah
membuatku kagum. Suara itu adalah suara yang pernah terekam dalam memori
panjangku. Apalagi senyumannya yang pernah menaklukkanku pada kali pertama kami
berdua bertatap muka.
“Apa
kabar?” kataku membuka obrolan serta mencoba menghidupkan kembali suasana. Dia
baik-baik saja, katanya. Tapi bagiku tidak. Aku sedang tidak baik-baik saja
berada di sini dengannya. Aku rasa ada yang telah menghilang dari kami berdua. Sesuatu
yang mungkin pernah kujaga erat pada masa itu. Dan mulai terlepas
perlahan-lahan.
“Kuliahmu
gimana?” katanya kembali. Aku menjawab apa adanya. Kutanya balik. Dan seperti
itu hingga menit-menit berikutnya. Monoton.
Kopi
yang tadi kupesan baru saja diantarkan. Aku diam. Kulihat dia juga memesan
secangkir kopi yang sudah mulai dingin karena telah dipesan beberapa waktu yang
lalu. Aku tak tahu kalau dia suka kopi. Sama sepertiku.
Sejatinya,
kali ini aku ingin ngopi berdua dengan dia. Empat mata. Namun, aku benci
mengakui bahwa dia mengajak temannya. Andai dia tahu kalau ada banyak hal yang
ingin kubicarakan dengan dia. Pembicaraan yang telah tertunda sejak beberapa
tahun yang lalu. Sayangnya, dia sendiri yang merusak rencanaku. Dia yang
mungkin tidak serius denganku. Atau mungkin aku yang terlalu serius dengan dia.
Entahlah, aku tidak tahu.
Semakin
lama nyatanya semakin berantakan. Aku tahu, pertemuan ini nyatanya tidak akan
menemui kesimpulan seperti yang kuinginkan. Tak akan seperti pertemuan yang kugambarkan
dalam angan-angan.
Pada
suatu titik, aku sadar satu hal bahwa waktu telah merubah segalanya. Aku tahu,
kami adalah bukan orang yang sama dengan kami pada masa itu. Terlalu lama
dengan kisah masing-masing membuat kisah kami menjadi terasa asing. Karena
bagiku, cerita kami sudah selesai setahun yang lalu. Dan tentangnya hanya
menjadi lembar demi lembar inspirasi dalam tulisanku.
Baca juga: Cerita Tentang Pelangi Pada Sepasang Mata yang Cantik
Namun,
hal itu berubah semenjak dia datang lagi. Menanyakan kabar seperti tak terjadi
apa-apa. Memunculkan harapan-harapan lama yang bagiku adalah persetan-persetan
penuh kemunafikan. Sayangnya, aku tidak akan terjebak dua kali. Karena sekeras
apapun aku mencoba, kesimpulan yang kudapatkan tetaplah sama. Kami tak akan
pernah bisa bersama jika memang begini adanya.
“Kok
diam?” katanya menyadarkan pikiranku yang tengah kacau. Aku tersenyum dan tak
tahu lagi harus berkata apa lagi. Segala yang ingin kusampaikan alangkah lebih
baik terbiarkan terpendam dalam ingatan. Mimpi-mimpiku bersamanya kupikir telah
hilang terbawa angin. Dia sudah tidak lagi menjadi inspirasiku.
Pada
akhirnya, aku sampai pada satu titik yang menjadi pertanda akhir kalimat. Titik
yang menjadi kesimpulanku selama ini. Titik yang membuatku diam di tempat.
Kini, tak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Tak ada lagi yang perlu
didiskusikan. Tak ada lagi yang perlu diperjelas. Karena semuanya sudah
menemukan titik terang.
Secangkir
kopi yang kupesan tadi membuatku sadar bahwa kopi kami ternyata sudah dingin
dan tak mungkin dihangatkan kembali. Meskipun aku atau dia mampu membuatnya
hangat lagi, aromanya sudah berbeda dan tidak mungkin lagi untuk dinikmati. Perbincangan
kami selesai. Dan cerita kami sekali lagi kuanggap selesai. Secangkir kopi itu
akan menjadi kenangan kami serta sebuah elegi yang akan kusyairkan dalam catatan
kenangan di sanubari.
Elegi Secangkir Kopi, Malang 19 September 2018