Malam
selasa kemarin saya dan kawan-kawan saya melakukan pendakian di sebuah gunung
di daerah Tulungagung. Gunung yang menjadi destinasi pendakian saya adalah
gunung Budheg yang kemungkinan sudah banyak dikenal oleh sebagian kalangan
masyarakat. Memang tinggi gunung itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan
gunung-gunung seperti Semeru atau Merbabu, akan tetapi gunung Budheg lumayan apabila
dijadikan destinasi pendakian.
Sebenarnya
saya tidak terlalu minat dalam perjalanan ini karena saya juga tidak terlalu
senang mendaki dan ini juga merupakan pengalaman pertama saya. Orang yang
merencanakan perjalanan kali ini adalah kawan saya yang bernama Muklis. Dia
mengajak saya dan beberapa kawan lain untuk mendaki gunung Budheg. Ia juga
mengajak gebetan barunya dalam perjalanan ini Ah, untung saya sudah kuat
menjomblo dalam beberapa tahun ini. Berhubung waktu untuk mendaki itu cukup pas
dan tidak mengganggu jadwal, saya pun setuju untuk ikut. Di samping itu, saya
juga merasa tidak enak hati karena tahun lalu saya sudah menolak ajakan
tersebut.
Cerita
dimulai ketika saya menjemput kawan saya yang namanya Badaru. Dia ini jomblo tulen
dan lebih parah dari saya. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul sembilan
malam dan langsung menuju ke tempat lokasi pendakian. Sebelum mendaki, kami
berdua sepakat untuk ngopi dulu agar tidak tegang.
Di
perjalanan kami memang tidak menemukan tempat ngopi yang pas. Selain karena
padatnya kursi warkop, tempatnya juga kurang nyaman. Alhasil kami memutuskan
untuk ngopi di warung dekat tempat parkir lokasi pendakian. Sayangnya, di
warkop tersebut tidak tersedia kopi ijo yang biasanya kami nikmati ketika
ngopi. Kami pun memesan dua kopi susu biasa sebagai alternatif. Yah seperti kopi
pada umumnya, aroma dan rasanya mampu menenangkan jiwa. Dan kami pun berdiskusi
ringan sembari menunggu Muklis dan gebetannya datang. Pada diskusi tersebut,
Badaru memberikan tips-tips kepada saya yang baru pertama mendaki. Ah, saya
hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk.
Selang
beberapa waktu, Muklis dan gebetannya datang
dan langsung menghampiri kami. Tanpa ba-bi-bu lagi kami pun langsung sepakat
untuk memulai pendakian kali ini. Kami memulai perjalanan ini sekitar pukul setengah
sebelas malam. Bisa dibayangkan betapa dinginnya semilir angin malam pada
jam-jam itu.
Malam
itu bulan bersinar terang, hampir dalam bentuk purnama sempurna. Hal itu
menambah syahdu perjalanan kami malam ini. Dan mungkin juga menambah romansa
antara Muklis dan gebetannya. Berhubung saya dan Badaru sama-sama jomblo, kami
tak banyak berkomentar macam-macam. Cukup mendaki dan melangkahkan kaki.
Karena
baru pertama kali mendaki dan saya pun jarang olahraga, saya langsung kehabisan
nafas dan rasa pegal-pegal mulai menyerang kaki saya. Alhasil, kami pun
seringkali mengambil jeda untuk istirahat. Hal itu juga dirasakan oleh gebetan
si Muklis karena dia juga masih newbie
sama seperti saya. Maka dari itu saya tak terlalu canggung apabila saya
mengajak mereka untuk berhenti sejenak.
Pada
mulanya saya tidak terlalu yakin bisa sampai ke puncak gunung Budheg. Saya
merasa kalau sepertiga perjalanan saja sudah cukup bagi saya. Pada sepertiga
perjalanan tersebut saya sendiri sudah melihat pemandangan yang lumayan
memukau. Sembari beristirahat sebentar kami bisa menikmati kerlap-kerlip cahaya
lampu perkotaan. Akan tetapi, kawan-kawan saya terus memotivasi saya untuk
bersama-sama menuju puncak karena pemandangan dari atas nanti akan lebih
memukau.Meskipun langkah kami pelan namun kami berjalan pasti untuk sampai ke
tujuan.
Memang
tidak bisa disejajarkan dengan petualangan di film 5 cm, tetapi pendakian kali
ini cukup memberikan sepercik nuansa petualangan. Medan pendakian di gunung
Budheg tidak terlalu sulit, namun cukup melelahkan juga bagi yang tidak
terbiasa seperti saya. Kami kadang juga melewati bebatuan dan jalan yang
lumayan menanjak. Namun di sana ada tali yang memudahkan para pendaki.
Kami
akhirnya sampai di puncak gunung Budheg setelah menempuh sekitar tiga jam
perjalanan. Di puncak itu tidak terlalu ramai pendaki berhubung waktunya juga
bukan akhir pekan. Hanya ada beberapa tenda di atas. Yang agak lucu adalah
perlengkapan yang dibawa Muklis ketika mendaki hanyalah sebuah tikar. Saya dan
Badaru tidak terlalu mempermasalahkannya karena kami bisa tahan dengan hawa
dingin di atas. Sayangnya, kami sedikit khawatir dengan daya tahan gebetan si
Muklis. Namun kami berdua yakin kalau Muklis sudah merencanakan perjalanan ini
dengan matang.
Karena
tidak ingin mengganggu kemesraan Muklis dan gebetannya, aku dan Badaru agak
menjauh. Dan menurut saya yang paling mengesankan dari perjalanan ini adalah
ketika kami berdua berdiskusi di puncak sembari menikmati hamparan luas kota
Tulungagung pada malam hari yang dihiasi kerlap-kerlip lampu perkotaan. Yang menjadikan
diskusi ini menarik dan berbeda dengan diskusi-diskusi kami di warkop adalah
suasana yang sangat tenang dan tenteram diselingi suara angin malam. Sembari
berdiskusi, kami juga tak lupa menyediakan sebungkus rokok sebagai teman
pengusir dingin.
Topik
yang kami bicarakan sebenarnya sudah pernah kami diskusikan. Kami selalu
berdiskusi mengenai hidup dan segala tetek bengeknya. Dan yang paling menusuk
kami pada malam itu adalah ketika kami mempertanyakan tentang sukses dan
masalah perempuan. Kami masih belum menemukan kesimpulan pasti mengenai dua hal
tersebut. Ada banyak tantangan dan misteri yang masih menyelimuti kami berdua.
Dan kedua hal itulah yang seringkali membuat kami berdua gundah gulana.
Memang,
sukses itu butuh perjuangan yang tidak mudah. Seperti pendakian malam itu yang
memerlukan waktu dan usaha. Dan kami seharusnya juga mempercayai hal tersebut.
Apa yang kami lihat saat ini bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah proses
perjalanan menuju sukses.
“Kita
seharusnya tidak melihat apa yang telah kita capai, tetapi lebih baik kita melihat
apa yang telah kita lalui. Semakin kita ke atas, semakin luas pemikiran kita,”
katanya kepada saya. Saya juga sependapat dengan pemikiran dia. Sebelum menuju
puncak, kami memang harus melalui jalanan yang menanjak atau bahkan penuh liku.
Diskusi
kami malam itu penuh gejolak tapi juga tawa yang ditujukan pada diri kami
sendiri. Dan tak terasa malam yang dingin itu beranjak menuju pagi. Kami pun
menanti mentari terbit bersama-sama sembari mengambil beberapa foto untuk
diabadikan. Sayangnya, ada satu yang kurang lengkap pada perjalanan ini, yaitu
ketidakhadiran kawan kami yang bernama Hamdan karena ia sedang ada kesibukan di
luar kota.
Mungkin
itu saja sedikit cerita dari saya kali ini. Dan kemungkinan saya juga akan
menulis semacam ini dalam kategori “jejak”. Semoga tulisan ini memberikan
secercah inspirasi untuk sobat yang membaca artikel ini.
Dan pada diskusi malam menjelang pagi,
aku masih belum menemukan konklusi.
Tulungagung, 06 Juli 2018
Tags
Jejak