Sunyi
itu kembali datang di sudut kosong hatiku. Ini malam, dan aku masih merenung
dalam lamunan semuku. Aku mencipta ilusi, mengharapkan kehadiranmu malam ini.
Pengharapan-pengharapan itu cukup membuatku tersenyum getir. Karena aku tahu,
sungguh sia-sia mencipta khayal di luar nalarku. Seperti kotak mimpi yang
terkunci dalam bingkai takdir. Kau senantiasa bergerak ke tempat berbeda,
sedangkan aku masih berdiri di tempat yang sama. Lalu, bagaimana mungkin
kaki-kaki itu mampu beriringan selangkah dan seirama?
Kekasih, barangkali sudah puluhan sajak puisi yang kurangkai untukmu. Kau perlu membaca
sajak-sajak itu. Sajak-sajak yang tercipta dari rintihan hatiku yang selalu
merindukanmu. Aku tak pernah memedulikan malam-malam menjemukan yang selalu
mencercaku karena tak mampu mengungkapkan perasaanku kepadamu. Aku pun resah,
ketika waktu mengusikku dengan perihal-perihal tentangmu yang memenuhi
ingatanku. Pedih yang kian menusuk ulu hati.
Barangkali, aku hanyalah pengecut yang terlalu takut
menghadapi kenyataan. Oleh sebab itu, perihalmu hanya mampu kucipta dalam
khayalku. Segalanya tentangmu hanya kukeluhkan kepada Tuhan sang pemilik waktu.
Kekasih, aku seringkali bercakap-cakap dengan Tuhan melalui sajak yang pernah
kurangkai. Sajak-sajak itu adalah kumpulan doa tentangku dan tentangmu. Doa
yang senantiasa kupanjatkan ketika malam-malam sepi menjemputku. Meskipun
lirih, aku percaya doa itu akan didengar oleh Tuhan serta malaikat-malaikat-Nya
yang bercahaya.
Karena aku tahu, ketika mencintaimu adalah doa,
segalanya akan berujung indah. Dalam diamku, kau akan mengerti bahwa aku
mencintaimu. Doa-doaku akan memenuhi langit dan kau akan menerima firasat dari
alam pembawa pesan dari doa-doa itu. Kau akan tahu, hakikat dari rasa yang
kusimpan untukmu selama ini.
Baca juga: Mencintai Dalam Keputusasaan