Ilustrasi: www.dakwatuna.com
Menulis diary identik dengan sisi feminim seorang perempuan, sehingga banyak orang yang beranggapan sebelah mata ketika seorang lelaki memiliki hobi menulis diary. Makanya banyak lelaki yang enggan menulis diary karena takut dicap kayak perempuan.
Buat gue, okelah fine-fine aja mereka bilang seperti itu. Tapi menulis diary itu adalah hal yang umum, yang bisa dilakukan oleh lelaki ataupun perempuan. Mungkin aja dengan menulis diary, seseorang lelaki bisa mengekspresikan dirinya sendiri. Atau paling enggak ketika ia suka menulis diary, dia belajar bagaimana memahami dirinya sendiri.
Seorang lelaki yang hobi menulis diary, dia tidak akan melewatkan satupun hal-hal yang pernah terjadi dalam hidupnya. Disaat orang lain mengukir peristiwa kemudian berlalu begitu saja, penulis diary mengabadikan peristiwa itu dalam buku diary-nya. Anggap tulisan itu adalah cerita untuk masa depan, untuk anak-anaknya kelak atau bahkan cucunya kelak.
Entah ini akan jadi realita atau enggak, tapi gue yakin berpuluh-puluh tahun mendatang, ketika lelaki itu sudah renta, tak ada satupun kegiatan yang bisa dilakukan seperti halnya diusianya waktu masih muda. Hanya buku kecil usang yang menemaninya, lembar demi lembar ia buka lalu ia baca, mungkin hatinya akan terharu membaca catatan-catatan kenangannya dimasa lampau.
Kalau kita lihat saat ini, banyak juga novelis-novelis lelaki ternama di Indonesia. Mereka juga mengawali karir mereka dari hal terkecil, yaitu menulis kisah hidupnya dalam sebuah diary. Contoh Andrea Hirata, semua buku-bukunya terinspirasi dari cerita kehidupannya di Balitong disaat ia kecil, menceritakan laskar-laskar pelangi yang tiada henti meraih mimpi.
So, buat kita para lelaki yang senang menulis diary,
fine-fine aja kok. Gak ada salahnya lelaki dan diary memiliki hubungan khusus,
biarlah orang berpendapat apa tentang kita. Jalani aja, mereka gak tahu apa
yang kita rasakan dan gue yakin orang punya passionnya masing-masing. Thanks
Tags
Opini